Rabu, 24 Juli 2013

Syariat, Tariqah, Haqiqat, Makrifat 2


Inilah jalan penghidup keyakinan syari'at, thariqat, haqiqat menuju kemuliaan dengarlah yang tersirat dalam gambaran yang tersurat dalam bisikan.
Selasa, 00 0000
Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.

Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.

Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.

Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.

Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).

Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.

Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.

Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: "Fa'budillâh Mukhlishan Lahuddîn".

Apabila Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.

Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau tidak beramal.

Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta' anni.

Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah (tunduk) kepada-Nya."

Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya".

Syari'at
Ibarat bahtera itulah syari'at
Ibarat samudera itulah thariqat 
Ibarat mutiara itulah haqiqat.

Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari'at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.

Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.

Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa. Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.

Agama ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari' at tanpa perantaraan apapun.

Thariqat
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.

Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.

Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat(sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.

Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.

Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.

Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.

Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.

Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.

Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".

Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya".

Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".

Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.

Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.

Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".

Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.

Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.

Nabi SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas".

Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan".

Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.

Haqiqat
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan 
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan

Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.

Menurut Imam al-Ghazalytajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.

Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam bentukkaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kepala, thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.

Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".

Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.

Wajib Bersyari'at

Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.

Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.

Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.

Karena syari'at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.

Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?" Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.

Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.

Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.

Ma'rifatullah

Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.

Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.

Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.

Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman".

Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.

Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.

Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa".
read more

Syariat, Tariqah, Haqiqat, Makrifat 1



Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh..

Ada yg bertanya tentang apakah yg dimaksudkan dengan Syariat.., apa itu Tarikat dan ada juga yang bertanya tentang Hakikat. Dengan segala keterbatasan, kami mencoba untuk menjelaskannya secara singkat, dengan harapan semoga dapat di pahami. ~ Mohon koreksi.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah,


SYARIAT..adalah 'Pandangan Hidup' (syara), 'Pegangan Hidup' (syariah), dan'Perjuangan Hidup' (manhaj) yg diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala utk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dlm hidup dan kehidupannya..


Sebagai PANDANGAN HIDUP..,
seorang muslim yg ISLAM oriented akan slalu setia pd syariat dlm berbagai persoalan hdpnya dgn senantiasa berpedoman kpd Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Firman Allah SWT:

"Syara'a lakum mina alddiini maa washshaa bihi nuuhan waalladzii awhaynaa ilayka wamaa washshaynaa bihi ibraahiima wamuusaa wa'iisaa an aqiimuu alddiina walaa tatafarraquu fiihi kabura 'alaa almusyrikiina maatad'uuhum ilayhi allaahu yajtabii ilayhi man yasyaau wayahdii ilayhi man yuniibu..."

" (Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama^1341 dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)".(QS Asy-Syura [42]:13) [^ 1341: Yang dimaksud : "agama" di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta menta'ati segala perintah dan larangan-Nya.]

Firman-Nya pula:

  • "Tsumma ja'alnaaka 'alaa syarii'atin mina al-amri faittabi'haa walaa tattabi' ahwaa-a alladziina laa ya'lamuuna..."
(Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS Al-Jatsiyah [45]:18)
  • "Wa-anzalnaa ilayka alkitaaba bialhaqqi mushaddiqan limaa bayna yadayhi mina alkitaabi wamuhayminan 'alayhi fauhkum baynahum bimaa anzala allaahu walaa tattabi' ahwaa-ahum 'ammaa jaa-aka mina alhaqqi likullin ja'alnaa minkum syir'atan waminhaajan walaw syaa-a allaahu laja'alakum ummatan waahidatan walaakin liyabluwakum fiimaa aataakum faistabiquu alkhayraati ilaa allaahi marji'ukum jamii'an fayunabbi-ukum bimaa kuntum fiihi takhtalifuuna..."
(Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian421 terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu422, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS Al-Maidah [5]:48).

Dan utk mengetahui hakikat..makrifat.maka ada baiknya kita pahami dulu istilah2 yg sering dipakai oleh para sufi..

~ Tak kenal maka tak sayang.~

HAKIKAT...berarti "kebenaran" atau "kenyataan", seakar dgn kata al-Haqq, "reality", "Absolut" adalah kebenaran esoteris yg merupakan batas-batas dari transendensi dan teologis.

Dalam pengertian seperti ini, hakikat merupakan unsur ketiga dlm ilmu tasawuf, yakni:

  • SYARI'AT (hukum yg mengatur);
  • TAREKAT (suatu jalan atau cara); ~ sebagai suatu tahapan dalam perjalanan spiritual menuju ALLAH Al-HAQQ;
  • HAKIKAT (Kebenaran yg essensial), dan...
  • MA'RIFAT (mengenal ALLAH dengan sebenar-benarnya, baik Asma, Sifat, maupun Af'al-Nya).

Firman Allah 
Subhanahu wa Ta'ala:
  • "Inna haadzaa lahuwa haqqu alyaqiini, fasabbih biismi rabbika al'azhiimi.."
"Sungguh, yg demikian itu adalah hakikat yg meyakinkan maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Maha Besar." (QS Al-Waqiah [56]: 95-96)

  • "Fadzaalikumu allaahu rabbukumu alhaqqu famaatsaa ba'da alhaqqi illaa aldhdhalaalu fa-annaa tushrafuuna.."
  • "Maka ikutilah DIA Tuhanmu yang hakiki. Tidak ada sesudah kepastian itu melainkan kesesatan. Tetapi bagaimanakah kamu dapat dipalingkan dari kebenaran?" (QS Yunus [10]: 32)

Ilmu "HAKIKAT" ini termasuk ilmu Maknun (Ilmu yg tersimpan) yg tidak boleh disebarkan kecuali kepada ahlinya, karena mengandung unsur yg membahayakan bagi orang awam (kebanyakan),sebagaimana yg diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berikut ini:

  • "Saya meriwayatkan dari Rasulullah Saw. dua wadah ilmu: salah satunya telah saya sebarkan kepada kalian, adapun yg kedua seandainya saya sebarkan kepada kalian, niscaya kalian akan mengasah pisau utk memotong leherku ini (dua wadah itu ialah Syariat dan Hakikat)".
Al-Ghazali menegaskan bhw Ilmu HAKIKAT termasuk ilmu rahasia yg kelihatannya bertentangan dgn Ilmu yari'at, namun hakekatnya tidaklah bertentangan.

Ilmu ini, yg tdk boleh ditulis dan tdk boleh disebar-luaskan secara umum, tetapi harus disembunyikan kecuali kpd org2 yg terpercaya (yg dpt menyimpan amanah), sebagaimana yg diungkapkan oleh Imam Ali Zainuddin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib.

  • "Banyak Ilmu bagaikan mutu manikam. Seandainya aku sebar-luaskan,niscaya orang-orang menganggapku termasuk para penyembah berhala, dan banyak tokoh kaum Muslimin menganggap halal darahku hingga mereka menganggap membunuhku itu lebih baik."
HAKIKAT..juga disebut 'lubb' ("dalam", "saripati", "inti") kaitannya dgn sebuah frase Al-Qur'an (dlm surah Al-Qashash ayat 29, dan ayat2 lain).

Ulul Albab (org yg memiliki pengetahuan yg mendalam), yakni mereka yg memiliki pandangan atau pengertian ttg HAKIKAT. Kaitannya dgn hal ini terdapat pada pepatah Sufi,

  • "Untuk mencapai Hakikat (inti), Anda harus mampu menghancurkan kulit",
yg mengandung pengertian bhw paham eksoterisme (perwujudan), melampaui batas-batas pemahaman eksoteris, karena esensi melampaui bentuk-bentuk luaran yg mana ia tdk dpt direduksikan kpd bentuk luaran yang bersifat eksoterik.

Lebih lanjut dpt dilihat dari uraian "SYARIAT".

Secara sederhana kita ambil contoh ibadah Shalat....yg menjadi inti daripd hakekat hidup kita sekalian...yaitu " Hakekat hidup adalah ibadah kpd 
Allah Subhanahu wa Ta'ala (liya'buduni)..,sedangkan ibadah yg paling pokok dan utama adalah Shalat...!
SHALAT:

  • SYARI'AT-nya adalah memenuhi kewajiban. Sesuai dgn firman-Nya;
" Inna alshshalaata kaanat 'alaa almu'miniina kitaaban mawquutaan.."
"Bahwa sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang2 mukmin pd waktu-waktu yg sdh ditentukan." (QS An-Nisaa [4]:103).

  • TAREKAT-nya adalah memberi pengaruh pada sikap dan membekas pada perbuatan.
  • HAKIKAT-nya...adalah zikir kpd ALLAH Subhanahu wa Ta'ala.
Sebagaimana firman-Nya:
  • "Innanii anaa allaahu laa ilaaha illaa anaa fau'budnii wa-aqimi alshshalaata lidzikrii.."
"Sungguh, AKU inilah ALLAH, tiada Tuhan melainkan AKU. Maka sembahlah AKU dan tegakkanlah shalat ini utk zikir kepada-KU." (QS Thaha [20]:14)
  • MAKRIFAT-nya ..adalah mi'raj ruhani kehadirat Ilahi.
"Shalat adalah Mi'raj-nya orang2 yg beriman." (HR Baihaqi dan Muslim)

Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, dimana diuraikan bahwa:

SYARIAT..adalah 'Pandangan Hidup' (syara)'Pegangan Hidup' (syariah), dan'Perjuangan Hidup' (manhaj) yg diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala utk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dlm hidup dan kehidupannya..
  • Sebagai PANDANGAN HIDUP.., seorang muslim yg ISLAM oriented akan slalu setia pd syariat dlm berbagai persoalan hdpnya dgn senantiasa berpedoman kpd Al-Qur'an dan As-Sunnah (QS Asy-Syura:13., Al-Jatsiyah:18, QS Al-Maidah:48).
  • Sebagai PEGANGAN HIDUP, SYARI'AT diturunkan ALLAH Subhanahu wa Ta'ala., ke dunia ini dgn Ilmu-Nya yg tak terbatas. Oleh krn itu, SYARIAT bersifat UNIVERSAL.
Kemudian, DIA mengutus Rasulullah SAW. sebagai RAHMATAN LIL ALAMIIN yang memberlakukan Syariat sampai akhir zaman. (Lihat QS Al-Furqan:1; dan QS Al-Anbiya:107).
  • Sebagai PERJUANGAN HIDUP, Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijtihad sebagai sumber syariat meliputi:
(1) Prinsip Dasar (Iman/Aqidah/Islam /Ibadah, dan Ikhsan/Akhlak) dan
(2) Norma-norma Hukum Islam.

Menurut Syaikh Athaillah As-Sakandary dan para sufi, bhw amal perbuatan terdiri atas tiga bagian, yaitu:

  • Amal Syariat; ~ Amal Tarekat, dan ~ Amal Hakikat; atau...
  • Amal Islam, Amal Iman, dan Amal Ihsan; ATAU..
  • Amal Ibadah, Amal Ubudiyyah, dan Amal Ubudah; ATAU..
  • Amal Ahli Bidayah (tahap pemula); Amal ahli Wasat (tahap pertengahan), dan Amal Ahli Nihayah (tahap akhir).
SYARIAT untuk memperbaiki 'zawahir' atau 'zawarih' (anggota badan),
TARIKAT utk memperbaiki 'dhamir' (hati); dan
HAKIKAT untuk memperbaiki 'sarair' (ruh).

Memperbaiki zahir (anggota badan) dgn tiga perkara pula yaitu:

  • Ikhlas
  • Sidq (jujur), dan
  • Tumaninah (ketenangan).
Dan, memperbaiki 'Ruh' juga dgn tiga perkara, yaitu;
  • Muraqabah (waspada/merasa di awasi/seolah-olah melihat ALLAH Subhanahu wa Ta'ala),
  • Musyahadah (menyaksikan Asma, Sifat, dan Afal Alllah Subhanahu wa Ta'ala.), dan,
  • Makrifat (mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala.)
ATAU..
  • Memperbaiki Zahir (anggota badan) yaitu dgn 'menjauhi larangan Allah Swt.dan mengikuti perintah-Nya.
  • Memperbaiki Hati yaitu dgn menjauhi sifat2 tercela dan menghiasinya dgn sifat2 utama..Dan,..
  • Memperbaiki Ruh yaitu dgn menghinakannya dan menundukkannya shgga menjadi terdidik adab,tawaduk, dan berbudi..
  • Ahli Syariat ialah org yg melaksanakan amal ibadah 'litalabil ujur' (krn mengharapkan upah atau pahala dari Allah Swt.).
  • Ahli Tarekat msh dlm perjalanan antara syariat dan hakikat..Sedangkan..
  • Ahli Hakikat ialah orang2 melaksanakan 'ibadah' (pengabdian kpd Allah Swt.) se mata2 krn mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala(ikhlas), disertai dgn rasa 'khawf' (takut/gentar), 'raja' (harap), 'mahabbah' (cinta) dst..
Syaikh Athaillah As-Sakandariyah berkata;
  • "Orang yg telah sampai pada Hakikat Islam, maka ia tdk kuasa menghindari melaksanakan Syariat;
  • Orang yg telah sampai pada Hakikat Iman, maka ia tidak kuasa berpaling kepada amal perbuatan atas dasar selain Allah Subhanahu wa Ta'ala (riya);
  • Dan, orang yg telah sampai pd Hakikat Ihsan, maka ia tidak kuasa berpaling kepada segala apapun selain Allah Swt."
Menurut Syaikh Ali bin al-Haitamy r.a.,
  • "Syariat ialah apa yg berkaitan dgn 'taklif' (pembebanan suatu ibadah), sdgkan Hakikat ialah apa yg dpt menghasilkan 'mengenal Allah'. Syariat dikuatkan oleh Hakikat.., dan hakikat terikat dgn syariat.
  • Syariat adalah sbg wujud perbuatan Allah Swt., dan melaksanakannya dengan syarat disertai ilmu melalui perantaraan para Rasul, sdgkan Hakikat ialah 'menyaksikan hal ihwal mengenal Allah Swt. dan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya tanpa ada perantaraan".
Syaikh al-Arif Billah Sayyid Ibrahim ad-Dasuqi al-Quraisy r.a., berkata:
  • "Syariat adalah POKOK, sdgkan Hakikat adalah CABANG. Syariat mengandung segala ilmu yg disyariatkan, sdkan Hakikat mengandung segala ilmu yg tersembunyi, dan seluruh maqam (kedudukan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala) bertingkat-tingkat di dlm keduanya".
"Syariat itu Pohon dan Hakikat itu Buahnya."
  • "Ahli Syariat akan batal shalatnya dgn bacaan yg buruk, sedangkan..
  • ahli Hakikat akan batal shalatnya dgn akhlak yg buruk.~ Jadi apabila di dlm bathinnya terdapat kedengkian atau iri hati, buruk sangka kpd seseorang, mencintai dunia, shalatnya batal.

Karena sesungguhnya pemilik akhlak buruk itu berada pada hijab (terhalang) dari menyaksikan keagungan Allah Swt. di dlm shalat. Dan org yg hatinya terhijab maka ia tidak shalat, krn sesungguhnya shalat adalah sebuah hubungan dgn Allah Swt.".
Seorang Sufi bersyair..:

Dalam Syariat Ada hijab..
Tidak akan tertembus kecuali oleh Hakikat....
Syariat jalannya umat....
untuk khidmat pada Yang Maha Kuat..

Sedang Hakikat ada syariat...yang samar bagi umat
Hingga disangka sesat...Padahal jalan yg selamat..

Syariat adalah awalan... Hakikat bukan akhiran..
Karena pada hakikat terdapat syariat...

Yang berbeda dengan syariat... awalan, pada khidmat umat....
Padahal pada tiap ayat ada makna..
yang tersirat dan tersurat..

Adalah sabda Rasul berpendapat..
Maka apakah mereka tidak melihat..?...

Pada tiap-tiap umat ada syariat...
Begitulah ayat berpendapat...
Apakah mereka tidk melihat..?...

Maka Hakikat dalah Syariat...
Yang berasal dari syariat umat...
Sedangkan dia berpijak
Maka bagaimanakah Hakikat dikatakan sesat?...

Sedangkan dia berpijak pada syariat..
Yang dibawa oleh Rasul yang mulia..
sebagai amanat..

Tetapi Allah mempunyai pendapat..
Siapakah para hamba yang mendapat hidayah...
Untuk dapatmengenal hakikat...

Maka siapa yang menolaknya...
berarti melepaskan hidayah..
Karena mencapai makrifat adalah...., dengan syariat

Yang terususun dengan hakikat..
Maka syariat dan hakikat adalah syariat-Nya..
Apakah mereka tidak melihat?

======
Segala puji hanya bagi Allah 'Azza wa Jalla semata.., dan Shalawat dan Sallam semoga senantiasa tercurah bagi junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam beserta ahlul baitnya, para sahabat serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.-

Wassalam
read more

Syariat, Tariqah, Haqiqat, Makrifat



Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari'at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma.

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Sumber syariat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah.

Tarekat (Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah) berarti "jalan" atau "metode", dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang ini, tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan Ilahiyah dengan cara suluk (taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh salik.

Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-­benar ada. Yng berasal dari kata  hak (al-Haq), yang berarti milik (ke­punyaan) atau benar (kebenaran). kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar)

Makrifat berarti pengetahuan yang hakiki tentang Ilahiyah. Dengan orang menjalankan Syari'at, masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah.

Lantas bagaimana jalannya

Seharusnya orang yang mengaku ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada didalam Syari'at.

Seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang berarti berpengetahuan meluas dalam memahami Islam baik dalam Al-Qur'an, Hadis, Usul Fiqih, Balaghoh, 'Ard, dan Bahasa. Dengan keluasan makrifat orang akan mendapat Hakikat Ilahiyah yang melahirkan gerakan tarekat dan berujung pada inti Islam yang tidak lain Syari'at.

Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai dari ma’rifat, tarekat, hakikat dan akhirnya sampai pada syariat.

Makrifat adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat Muhammad saw bertemu jibril, hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah untuk iqra, tarekat saat muhammad saw berjuang untuk menegakkan jalannya dan syariat adalah saat muhammad saw mendapat perintah untuk sholat saat isra mikraj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim.

Munculnya istilah Tarekat, Hakikat, dan Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh setelah wafatnya Rasulullah Saw sekitar abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul Islam Syeh Imam Al-Ghazaly Asy-Syafi'i yang menyendiri dari kajian ilmiyah (falsafah) setelah menulis Tahafut al-Falasifah. Kemuadian Al-Ghazali menjadi Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya Ulumuddin. kemudian dunia Islam Timur Tengah tenggelam dalam sufi. Dan kemajuan Islam hanya di daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang diprakarsai Ibn Rus
read more